Minggu, 05 September 2010

Celoteh Secangkir Kopi Hangat (2) ; KEBAIKAN YANG TIDAK BAIK

Ketika Nelson Mandela menduduki kursi pemerintahan tertinggi di Afrika Selatan, ia menyamaratakan hak kaum bangsa kulit putih dan berwarna (negro). Padahal, penjara dan pengekangan kebebasan menjadi hal yang wajar baginya saat menyuarakan persamaan hak bagi kaum kulit hitam. Ia tentu memiliki kuasa untuk “mengusir” kaum kulit putih saat dirinya berkuasa. Namun, pilihan untuk memaafkan masa lalu dan memulai yang baru dengan kedamaian tenyata menjadi keputusan indah yang menjadikan negara Afrika Selatan saat ini salah satu negara yang paling pesat berkembang.

Hal yang sama, memaafkan dengan indah ini, dilakukan juga oleh petinggi umat Kristiani, Paus Yohanes Paulus II, ketika ia ditembak di Lapangan Santo Petrus pada 13 Mei 1981 oleh penembak Turki, Mehmet Ali Agca. Paus Yohanes Paulus II memaafkan Mehmet Ali Agca dua tahun kemudian meski ia sendiri mengalami penyakit fisik permanen akibat penembakan itu.

Bagi umat Muslim sendiri, rasa maaf yang luar biasa terdapat dalam kisah Fathat Al-Makkah, saat nabi Muhammad beserta umatnya menyerang besar-besaran kota Mekkah. Mereka memaafkan tanpa membunuh seorang pun masyarakat Mekkah. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, masyarakat Mekkah inilah yang berniat membunuh nabi Muhammad dan selalu menghalangi syiar Islam lewat tidakan apapun. Hal ini sesuai dengan makna kata ‘islam’ sendiri –berasal dari kata ‘salam’- yang artinya damai/selamat.
Semua kita pun tahu, maaf adalah tindakan mulia. Maaf adalah tindakan baik.

Tindakan baik selalu mendatangkan kebaikan yang lebih baik lagi.
Namun, ketika tindakan baik memiliki maksud lain atau ada niat dibalik kebaikan itu, esensi tindakan baik menjadi berubah makna. Hal ini bukan mendatangkan kebaikan yang lebih baik, namun justru mungkin sebaliknya.

Beberapa minggu sebelum Ramadhan 1431 berakhir, pemerintah Indonesia memberikan grasi (pengurangan masa tahanan) kepada salah satu koruptor terbesar negri ini, Syaukani. Syaukani disinyalir merugikan negara sebesar 106 miliyar rupiah. Awalnya, masa penahanan mantan bupati Kutai Kertanegara ini adalah 6 tahun. Namun, ia akhirnya mendapat pengurangan 3 tahun. Alasan utamanya adalah sakit keras yang dialami oleh Syaukani. Alasan kemanusiaan menjadi pertimbangan pemberian grasi.

Sebelum Syukani, besan SBY yang juga Deputi Bank Indonesia, Aulia Pohan juga mendapat remisi. Semestinya, pelaku penggunaan dana Pengembangan Dana Perbankan Indonesia ini dipenjara selama 4,5 tahun. Namun, seiring berjalannya masa, masa penahanannya dikorting menjadi empat tahun, dikurangi satu tahun, mendapat dua kali remisi 3 bulan, lalu terakhir pembebasan bersyarat. Sebelum pemebebasan bersyarat diberlakukan, Aulia Pohan juga sudah biasa bolak-balik keluar sel. Sel bukan tempat yang mengekang kebebasannya untuk pergi ke dokter gigi dan tidur di rumah.

Dalam masalah Syaukani, kita mungkin bisa beranggapan bahwa pemerintahan adalah birokrasi yang berisi orang-orang yang berbaik hati, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Koruptor besar yang sakit diberi pengurangan masa penahanan. Dalam masalah Aulia Pohan?

Dari titik ini, kita bisa menarik kesimpulan, “jangan-jangan grasi dan remisi itu sudah masuk rencana mereka saat melakukan tindakan korupsi?”. Secara luas, pertanyaan tersebut akhirnya bermuara pada kesmipulan bahwa kebaikan pemerintah sudah kelewat batas yang pada akhirnya, kebaikan tersebut ternyata tak lagi mengandung unsur-unsur yang “baik”. Ia bagian dari politis. Ia bagian dari rencana pembobolan dana negara. Ia bagian dari kejahatan. Kebaikan menjadi basa-basi ketika keadilan diabaikan.

Sangat mudah menyimpulkan, yang mana pemberian maaf yang baik, yang mana yang bukan. Pemberian maaf yang dilakukan oleh Nelson Mandela, Paus Yohanes Paulus II, dan Nabi Muhammad, termasuk ke dalam golongan yang pertama, karena ia mendatangkan kebaikan yang lebih baik. Sedangkan pemberian maaf yang “aneh” –jika tidak ingin disebut “busuk”, nampaknya hanya akan semakin memperburuk saja. Pemberian maaf yang nampaknya “terlalu baik” pada para koruptor sepertinya hanya akan mendatangkan koruptor yang lebih “gila” lagi, bukan malah pengurangan budaya mengorup.

Maaf-memaafkan memang budaya yang indah. Namun, sudah semetinya makna dari kata ‘maaf-memaafkan’ tidak disalah artikan apalagi dimanfaatkan. Semestiya pula, ia dimaknai sebagai perbuatan baik yang mendatangkan kebaikan lagi, bukan sebaliknya.

Akhir kata, selamat hari raya Idul Fitri 1431 Hijriyah. Mohon maaf lahir batin. Semoga kita dapat menjadi manusia dengan kebaikan yang lebih baik. Terima kasih.

Celoteh Secangkir Kopi Hangat (1) : AKU CINTA KAMU ; SUBJEK, PREDIKAT, OBJEK?

AKU CINTA KAMU ; SUBJEK, PREDIKAT, OBJEK?

Penggunaan kalimat “Aku milikmu” atau “kamu milikku” yang bermakna denotatif maupun konotatif begitu mudah kita temukan dalam syair atau lirik-lirik lagu bertema cinta, khususnya cinta sepasang kekasih atau disebut saja cinta erotis –bedakan dengan cinta persaudaraan, cinta tuhan, dan cinta ibu.-. Secara aturan sintaksis, kalimat tersebut terdiri dari fungsi subjek, predikat, dan objek. Artinya, bila dikaitkan makna semantisnya dengan lingkup realita, kalimat tersebut mengarah pada maksud “kepemilikan”.



Bagi penganut lirik tersebut, sadar ataupun tidak, konsep “kepemilikan” akhirnya menjadi konsep percintaan. Perihal ini melahirkan hasrat yang bersifat individualistis, egosentris, subjektifitas, atau, bahasa sederhananya “mentingin diri sendiri”. Seseorang akhirnya menempatkan dirinya atau kekasihnya sebagai subjek atau objek. Cinta erotis menjadi sebuah hal yang bersubjek dan berobjek, yang terdiri dari dua bagian (orang) yang dihubungkan dengan fungsi predikat. Secara tidak disadari, predikat tersebut menjadi pemisah -bukan jembatan- bagi kedua orang tersebut.



Bila kita sandingkan kalimat “cewek /cewek itu milik gue” dengan kalimat “buku itu milik gue”, tidak akan ada perbedaan semantis yang nyata antara kedua kalimat tersebut. “Cewek/cowok” sama halnya dengan sebuah benda. Padahal semua orang tahu bahwa manusia bukanlah benda. Ia memiliki nilai eksistensi dalam kehidupannya. Ia memiliki “keberadaan” yang membedakannya dengan binatang, apalagi benda mati. Ia milik dirinya sendiri. Ia memiliki kemampuan memilih untuk tidak menjadi subjek atau objek atau tidak keduanya.



Persoalan ini, seperti yang telah diungkapkan, cenderung mengakibatkan lahirnya sikap egosentris yang tidak memberi kebebasan pada pasangan atau objeknya. Misalnya, dalam kasus pasangan yang mendua atau pasangannya didekati oleh orang lain, hal seperti ini akan mengakibatkan subjek berlagak layaknya seorang pemilik yang diambil barang kesayangannya. Pasangannya seakan sebuah barang berharga yang harus senantiasa dijaga. Ia tidak memberi pada pasangannya untuk memilih bahkan bertindak sesuai keputusan sang pasangan. Ia juga akan memandang orang lain sebagai lawan yang akan merebut barang kesayangannya. Hal ini lebih jauh lagi akan menimbulkan sikap protektif. Dirinya adalah hal yang utama. Kemauan dan hasratnya adalah prioritas yang mesti diikuti pasangannya, juga sesiapapun. Kebenaran ada padanya. Sebuah gejala masokis yang bila berkembang semakin parah akan mengakibatkan hasrat kekuasaan yang tiada hentinya.



Sebaliknya, jika seseorang meletakkan dirinya selalu dalam fungsi objek, peluang munculnya sadisme akut akan sangat terbuka lebar. Keberadaan dirinya ditentukan oleh orang lain, yang jika dihubungkan dengan perihal cinta erotis, ia akan menjadi seseorang yang mudah dimanfaatkan, dikibuli, dan disakiti oleh pasangannya. Keeksistensiannya diragukan -jika tidak ingin dikatakan hampir sama dengan benda mati-.



Subjek dan objek memungkinkan munculnya sifat masokis dan sadistis. Subjek dan objek memungkinkan terjadinya kesalahpahaman dalam mencintai-dicintai. Subjek dan objek menyebabkan kata “cinta” menjadi predikat, sekedar kata, embel-embel, ucapan penutup SMS, physicly, pemisah, yang akhirnya menjadi tembok pembatas.



Demi memahami dan menyikapi persoalan subjek-objek dalam hal cinta ini, penggalan kalimat dari Erich Fromm mungkin akan membantu kita

“Dua manusia yang saling mencintai adalah satu, meski begitu mereka tetap dua manusia yang berbeda”



Konsep saling menghargai, menghormati, memahami dan selalu belajar menyayangi pada diri masing-masing pasangan akan menjadi pilihan yang tepat dalam menghapus konsep subjek-objek. Kata “cinta” yang diletakkan ditengah-tengah kalimat “aku cinta kamu” atau ‘kamu cinta aku’ tidak lagi menjadi predikat, apalagi pembatas. Ia menjadi pemersatu, seperti jembatan. Namun, jembatan pun masih menandakan jarak. Kata ‘cinta’ yang hakiki semestinya bermakna “aku adalah kamu, kamu adalah aku”.



Dengan ini, seseorang akan selalu mencoba memahami kekasihnya, memandang sudut pandang suatu persoalan hubungan lewat sudut pandang objektif, yang pada akhirnya melahirkan keselarasan hubungan. Eksistensi masing-masing pribadi tidak tergugah dan keterpisahan yang dialami masing-masing pribadi dapat diraibkan.



Sebagai penutup tulisan, akhir bait dari puisi "Sajak-sajak tentang cinta" dari Sapardi akan sangat berharga dalam memahami persoalan cinta ini.

"Mencintaimu harus menjadi aku".

cinta adalah kebersatuan, bukan jarak, bukan subjek-objek.



Akhir kata, dari saya pribadi, Selamat mencintai dan dicintai. Selamat menyambut hari raya Idul Fitri juga.



1 September 2010