Minggu, 05 September 2010

Celoteh Secangkir Kopi Hangat (1) : AKU CINTA KAMU ; SUBJEK, PREDIKAT, OBJEK?

AKU CINTA KAMU ; SUBJEK, PREDIKAT, OBJEK?

Penggunaan kalimat “Aku milikmu” atau “kamu milikku” yang bermakna denotatif maupun konotatif begitu mudah kita temukan dalam syair atau lirik-lirik lagu bertema cinta, khususnya cinta sepasang kekasih atau disebut saja cinta erotis –bedakan dengan cinta persaudaraan, cinta tuhan, dan cinta ibu.-. Secara aturan sintaksis, kalimat tersebut terdiri dari fungsi subjek, predikat, dan objek. Artinya, bila dikaitkan makna semantisnya dengan lingkup realita, kalimat tersebut mengarah pada maksud “kepemilikan”.



Bagi penganut lirik tersebut, sadar ataupun tidak, konsep “kepemilikan” akhirnya menjadi konsep percintaan. Perihal ini melahirkan hasrat yang bersifat individualistis, egosentris, subjektifitas, atau, bahasa sederhananya “mentingin diri sendiri”. Seseorang akhirnya menempatkan dirinya atau kekasihnya sebagai subjek atau objek. Cinta erotis menjadi sebuah hal yang bersubjek dan berobjek, yang terdiri dari dua bagian (orang) yang dihubungkan dengan fungsi predikat. Secara tidak disadari, predikat tersebut menjadi pemisah -bukan jembatan- bagi kedua orang tersebut.



Bila kita sandingkan kalimat “cewek /cewek itu milik gue” dengan kalimat “buku itu milik gue”, tidak akan ada perbedaan semantis yang nyata antara kedua kalimat tersebut. “Cewek/cowok” sama halnya dengan sebuah benda. Padahal semua orang tahu bahwa manusia bukanlah benda. Ia memiliki nilai eksistensi dalam kehidupannya. Ia memiliki “keberadaan” yang membedakannya dengan binatang, apalagi benda mati. Ia milik dirinya sendiri. Ia memiliki kemampuan memilih untuk tidak menjadi subjek atau objek atau tidak keduanya.



Persoalan ini, seperti yang telah diungkapkan, cenderung mengakibatkan lahirnya sikap egosentris yang tidak memberi kebebasan pada pasangan atau objeknya. Misalnya, dalam kasus pasangan yang mendua atau pasangannya didekati oleh orang lain, hal seperti ini akan mengakibatkan subjek berlagak layaknya seorang pemilik yang diambil barang kesayangannya. Pasangannya seakan sebuah barang berharga yang harus senantiasa dijaga. Ia tidak memberi pada pasangannya untuk memilih bahkan bertindak sesuai keputusan sang pasangan. Ia juga akan memandang orang lain sebagai lawan yang akan merebut barang kesayangannya. Hal ini lebih jauh lagi akan menimbulkan sikap protektif. Dirinya adalah hal yang utama. Kemauan dan hasratnya adalah prioritas yang mesti diikuti pasangannya, juga sesiapapun. Kebenaran ada padanya. Sebuah gejala masokis yang bila berkembang semakin parah akan mengakibatkan hasrat kekuasaan yang tiada hentinya.



Sebaliknya, jika seseorang meletakkan dirinya selalu dalam fungsi objek, peluang munculnya sadisme akut akan sangat terbuka lebar. Keberadaan dirinya ditentukan oleh orang lain, yang jika dihubungkan dengan perihal cinta erotis, ia akan menjadi seseorang yang mudah dimanfaatkan, dikibuli, dan disakiti oleh pasangannya. Keeksistensiannya diragukan -jika tidak ingin dikatakan hampir sama dengan benda mati-.



Subjek dan objek memungkinkan munculnya sifat masokis dan sadistis. Subjek dan objek memungkinkan terjadinya kesalahpahaman dalam mencintai-dicintai. Subjek dan objek menyebabkan kata “cinta” menjadi predikat, sekedar kata, embel-embel, ucapan penutup SMS, physicly, pemisah, yang akhirnya menjadi tembok pembatas.



Demi memahami dan menyikapi persoalan subjek-objek dalam hal cinta ini, penggalan kalimat dari Erich Fromm mungkin akan membantu kita

“Dua manusia yang saling mencintai adalah satu, meski begitu mereka tetap dua manusia yang berbeda”



Konsep saling menghargai, menghormati, memahami dan selalu belajar menyayangi pada diri masing-masing pasangan akan menjadi pilihan yang tepat dalam menghapus konsep subjek-objek. Kata “cinta” yang diletakkan ditengah-tengah kalimat “aku cinta kamu” atau ‘kamu cinta aku’ tidak lagi menjadi predikat, apalagi pembatas. Ia menjadi pemersatu, seperti jembatan. Namun, jembatan pun masih menandakan jarak. Kata ‘cinta’ yang hakiki semestinya bermakna “aku adalah kamu, kamu adalah aku”.



Dengan ini, seseorang akan selalu mencoba memahami kekasihnya, memandang sudut pandang suatu persoalan hubungan lewat sudut pandang objektif, yang pada akhirnya melahirkan keselarasan hubungan. Eksistensi masing-masing pribadi tidak tergugah dan keterpisahan yang dialami masing-masing pribadi dapat diraibkan.



Sebagai penutup tulisan, akhir bait dari puisi "Sajak-sajak tentang cinta" dari Sapardi akan sangat berharga dalam memahami persoalan cinta ini.

"Mencintaimu harus menjadi aku".

cinta adalah kebersatuan, bukan jarak, bukan subjek-objek.



Akhir kata, dari saya pribadi, Selamat mencintai dan dicintai. Selamat menyambut hari raya Idul Fitri juga.



1 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar