Minggu, 17 Oktober 2010

Celoteh Secangkir Kopi Hangat (4) ; Setitik Manis dalam Si Kopi

“Film ini, nggak sesuai ma judulnya”
Begitu kata seorang sahabat seusai menonton film Secangkir Kopi Pahit yang disutradarai oleh Teguh Karya, seorang sutadara di era 70-an. Secara denotatif, pernyataan tersebut benar adanya. Film Secangkir Kopi Pahit sama sekali bukan bercerita tentang kopi. Ia bercerita tentang seorang wartawan –diperankan oleh Alex Komang- yang terjebak dalam kasus objek yang diliputnya. Akibatnya, profesi jurnalisnya pun terancam.

Secangkir Kopi Pahit, bukan hanya bercerita tentang dunia kewartawanan. Ia lebih jauh bercerita tentang liku-liku kehidupan manusia, pun luka-lukanya. Ia merupakan gambaran realita terhadap suatu perjalanan hidup anak manusia. Di sini lah titik temunya ; kehidupan dan pahit kopi menjalin sebuah benang merah yang tak terhindarkan.

Bila teh dilambangkan dengan kesuburan dan kejayaan –Inggris memberlakukan teh sebagai minuman wajib, padahal kondisi agraris mereka tidak cocok untuk produksi tanaman tersebut. Sebuah petanda yang ironis-, susu dilambangkan dengan nirwana dan alam (ibu), maka kopi menempati posisi sebagai penanda kehidupan.

Boleh saja anda setuju atau tidak setuju. Tapi saya akan tetap meneruskan.

Menciptakan kopi yang betul-betul nikmat, bukan didapat dari kursus atau les-les. Ia bicara tentang cita rasa. Maka, kopi yang nikmat bagi saya mungkin berbeda dengan kopi yang nikmat bagi anda. Disini, mari kita sisihkan kopi-kopi instan –yang rasanya seragam-.

Di Aceh, terdapat sejenis kopi yang sering disebut dengan kopi Solong. Agam Syarifuddin, pengusahanya, menjelaskan bahwa proses pembuatannya, dari hal memilih biji kopi, merebus, penguapan, dan peracikan, memerlukan keterampilan yang hanya bisa diasah oleh waktu. Proses ini, jika gak bener satu tahap saja, akan menghasilkan cita rasa kopi yang jauh dari harapan.

“Proses pembuatan kopi, sama dengan proses kehidupan” tuturnya.

Mungkin, ia terlalu melebih-lebihkan. Toh bukan hanya kopi yang menuntut proses yang maksimal, namun hampir semua aktifitas produksi. Tetapi, dengan kenyataan bahwa kopi memiliki kekhasan rasa pahit –yang umumnya dihindari-, esensinya pun menjadi berbeda dibanding konsumsi lain. Hmm, pahit yang nikmat. Maka, ketika hidup juga pahit sekaligus nikmat, wajarlah banyak yang beranggapan bahwa kopi adalah simbol kehidupan.

Kopi ditemukan pertama kali oleh bangsa Ethiopia, Afrika, 1000 SM. Kini, ia menempati posisi minuman ke-2 yang paling banyak dikonsumsi umat manusia setelah air putih. Zat Kafein yang terkandung di dalam kopi memiliki kegunaan untuk meningkatkan stamina. Cukup berguna, cukup mematikan juga bila berlebihan.
Kita tidak akan bisa menyamakan kopi dengan tebu. Sesempurna apapun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tidak mungkin kamu sembunyikan (Filosofi Kopi, Dewi Lestari).

Celoteh Secangkir Kopi Hangat (3) ; Kepolosan Jadi Korban

Seorang anak kecil, bersama ayah dan ibunya, masuk ke dalam sebuah istana. Dari istana tersebut, mereka lalu disuguhkan pemandangan alam dan kota yang menakjubkan. Mereka lalu berjalan-jalan berkeliling kota. Pikiran mereka sempat dipenuhi pertanyaan “Kemana kah semua orang?”, pertanyaan yang meraib saat mereka melihat toko makanan yang menghidangkan aneka masakan yang menggiurkan. Ayah dan ibu tersebut segera melahapnya setelah sang ayah berargumen“Nanti sajalah kita bayar makanan ini, kalau yang punya sudah datang”. Hanya sang anak yang tidak makan. Ia berjalan mengelilingi kota seorang diri. Malam lalu datang, dan ketika sang anak merasakan keanehan dengan munculnya hantu-hantu dan makhluk-makhluk berbentuk hewan, ia segera berlari kembali pada orang tuanya. Ia pun kaget bukan kepalang, saat disadari ayah dan ibunya telah berubah menjadi babi.

Film kartun Spirited Away yang sedikit cuplikannya saya paparkan di atas memang cukup baik ‘memainkan’ semiotika. Babi bisa disimbolkan sebagai lambang kerakusan. Namun, bukan soal babi tersebut yang hendak saya bahas. Keberadaan Sen atau Cihiro,nama tokoh anak kecil tadi sebagai tokoh utama film, mengingatkan saya beberapa cerita yang bertokohkan anak kecil pula. Sebut saja, novel Totto-Chan, film The Boy in the Striped Pyjamas, dan film Turtle can Fly.

Anak kecil, selalu menjadi lambang kepolosan, kemurnian, dan hati nurani yang masih berfungsi sebaik-baiknya. Kita setujui saja, batas akhir umur anak tersebut adalah, kurang lebih sepuluh tahun, atau belum melewati batas ‘mimpi basah’ –karena, begitulah umur tokoh-tokoh tersebut-. Di masa tersebut, eksistensi mereka sebagai sesosok manusia belum disadari penuh oleh mereka. Mereka masih setengah alam, setengah manusia. Masih setengah alam : kepuasan mereka hanya bersifat fisiologi, selama ada makan, ada ibu dan ayah, kasih sayang orang lain, saat itu mereka merasa tercukupi. Bahasa kasarnya, yah, tidak jauh seperti binatanglah. Mereka pun masih setengah manusia : umur di bawah sepuluh tahun merupakan usia berkembangnya syaraf sensorik. Hal ini menyebabkan mereka, dengan akal budi dan nalar yang tidak dimiliki binatang, akan mencoba mencari tahu (juga tempe?) hal-hal di luar individu mereka. Maka wajar, jika seorang anak banyak bertanya ini-itu.

Jadi, bahwa semua anak kecil adalah kertas putih, hal itu benar adanya. Mereka adalah suci, terlepas dari orang tuanya seorang penjahat, pembunuh, perampok, penyair (loh?). Yang semestinya dilakukan oleh orang dewasa pada mereka dalam jenjang usia tersebut adalah perhatian sepenuhnya. Tentu bukan hanya dari segi fisik, namun pembentukan mental juga. Namun, sangat disayangkan bahwa anak-anak justru sering kali menjadi korban perbuatan orang-orang dewasa.

Totto-chan, tokoh Totto-chan, mungkin beruntung selamat dari pemboman Amerika Serikat. Tetapi, hal yang buruk terjadi pada anak-anak di film The Boy in the Striped Pyjamas. Tokoh Bruno dan Shmuel, anak dari komandan Jerman dan seorang Yahudi, mesti mati di bunker saat pasukan Nazi berniat memperkecil pengeluaran makanan bagi tawanan –yang artinya pembunuhan massal. Begitu juga dalam film Turtle Can Fly. Salah satu tokoh (lupa namanya), menderita gangguan mental akibat pemerkosaan.

Perang, kecuali di Timur Tengah, saat kini mungkin memang sudah tidak zaman. Anak-anak bebas bersekolah dan bermain. Tetapi, kita juga sering disuguhi di perempatan lampu merah, anak-anak yang mengamen dan mengemis. Secara psikologis, sangat kecil kemungkinan bahwa hal tersebut dilakukan atas inisiatif mereka sendiri. Ada perbuatan orang dewasa dibelakang kondisi tersebut. Entah orang tua mereka sendiri, entah orang lain. Yang jelas adalah, salah satu pasal undang-undang yang menyebutkan bahwa anak-anak terlantar dirawat oleh negara, merupakan basa-basi saja. Hal yang tak jauh berbeda terjadi pula dalam masyarakat kelas atas, yang biasanya disibukkan perihal profesi. Baby sister lebih berperan bagi pertumbuhan seorang anak ketimbang orang tuanya sendiri. Mereka juga, dengan diabaikan kemauan mereka sendiri, disuruh les ini itu, belajar ini itu. Memang tidak salah membanggakan anak, namun ketika niat kebanggaan justru menjatuhkan sang anak, yang terjadi adalah sebaliknya.

Kepolosan seorang anak tentu akan berakhir kala ia memasuki jenjang kedewasaan. Kedewasaan ini pun bukan suatu yang negatif. Kedewasaan merupakan usia untuk menjadi sebaik-baiknya manusia. Tetapi, ketika kedewasaan menjadi lebih buruk dari kepolosan, mungkin sebaiknya seseorang itu mulai berpikir untuk kembali ke rahim saja.